Kurikulum 2013 mulai diterapkan sejak Senin (15/7) setelah sebelumnya menuai banyak pro-kontra dari pengamat, guru, maupun orangtua murid.
"Ibarat pertandingan sepak bola, mereka yang menolak kurikulum baru itu penonton, sedangkan pemain dan wasit dapat menerimanya," kata Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud), Mohammad Nuh dalam sebuah pertemuan dengan guru PGRI se-Jatim, Sabtu (18/5) seperti dilansir dari Antara.
Cukup bisa dibenarkan jika melihat komentar Darmaningtyas, pengamat pendidikan yang merupakan salah satu anggota tim perumus kurikulum 2013, yang juga dilansir dari Antara.
"Kurikulum 2013 itu sendiri bukan sesuatu yang baru, karena merupakan kombinasi dari cara belajar siswa aktif (CBSA) dengan kurikulum tingkat satuan pendidikan (KTSP)," ujarnya.
"CBSA itu mengajarkan murid bersikap kritis, tapi orang tua belum siap. Ketika murid bersikap kritis, seringkali justru memicu benturan dengan orang tua yang masih bersikap konservatif," tutur Darmaningtyas.
Hal yang sama, menurut dia, juga melingkupi penerapan Kurikulum 2013 yang sebenarnya lebih disebabkan oleh ketidaksiapan guru, karena mayoritas guru baru memahami KTSP, tapi tiba-tiba ada rencana perubahan menjadi Kurikulum 2013.
"Karena itu, perlu waktu agar semuanya siap, saya kira hal itu lebih baik daripada nanti ada masalah baru," tutur pria yang akrab dipanggil Tyas itu.
Catatan yang hampir sama datang dari Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) Jawa Timur.
"Para pengajar belum tersentuh dengan kurikulum baru (2013). Guru yang mata pelajarannya hilang atau disatukan butuh waktu untuk penyesuaian dengan penerapan kurikulum tersebut," ujar Ketua PGRI Jatim, Ichwan Sumadi di Surabaya (2/5).
Catatan selanjutnya adalah sistem evaluasi melalui ujian nasional (UN) yang dinilai terlalu kognitif, padahal kurikulum 2013 sendiri menampung tiga aspek: kognitif, perilaku, dan keterampilan.
"Saya setuju UN, tidak dimaksudkan untuk penentu kelulusan, tapi hanya sebagai alat pemetaan kualitas dan hanya menjadi milik pemerintah. Kalau kurikulum baru diterapkan, tapi evaluasinya menggunakan UN berarti ada inkonsistensi," kata Darmaningtyas.
Para pejabat Kemendikbud pun dengan penuh rasa percaya diri menyatakan bahwa kurikulum 2013 hanya meliputi lima persen di SD dan tujuh persen di SMP sebagai penerapan bukan ujicoba.
"Bagaimana mungkin tidak dibilang ujicoba, sementara telah terjadi pengurangan yang begitu drastis, dari semula 132 ribu sekolah menjadi hanya 6.400-an dari semula 20 juta siswa menjadi hanya 1.600 siswa. Masa sih para profesor di Kemendikbud masih menganggap ini bukan sampel? Kenapa harus malu dengan ujicoba sehingga ngotot dengan penerapan?" kritik Retno Listyarti, Sekretaris Jenderal FSGI (Federasi Serikat Guru Indonesia).
Kurikulum 2013 juga menuai banyak protes dari orangtua murid karena menghapuskan mata pelajaran Bahasa Inggris dari sekolah dasar.
Lita Anggraeni, pegawai negeri sipil di Jakarta menyayangkan penghapusan Bahasa Inggris. Ia menganggap anak-anak sudah bisa dan jadi satu kemunduran jika dihapuskan. Apalagi ia menambahkan bahwa pengetahuan umum sumbernya berbahasa asing, terutama Bahasa Inggris.
Sementara Manigor, bapak dua anak warga Kecamatan Air Molek, Riau, dengan tegas menolak karena jika tidak dibiasakan dari kecil bagamana anak-anak bisa bo international.
Namun di sisi lain pakar sosio-linguistik dari Universitas Gajah Mada, Kunjana Rahardi, menyetujui rencana pemerintah itu. Menurutnya pengenalan bahasa asing yang terlalu dini berdampak buruk pada penguasaan bahasa anak. Baginya anak-anak perlu menguasai bahasa ibu dengan matang terlebih dulu sebelum belajar bahasa kedua dan ketiga. Dengan begitu Bahasa Indonesia-nya akan lebih tertata rapih dan tak melupakan bahasa daerahnya.
Sebagai salah satu elemen utama dalam dunia pendidikan, guru pun punya pendapat sendiri dari sudut pandangnya. Ida, guru kelas I SD di Jepara yang sudah mendapat pelatihan selama lima hari di Solo dan mulai menerapkan kurikulum 2013 sejak kemarin memberikan komentarnya,
"Kurikulum yang baru ini bagus untuk membentuk kreativitas anak dan melatih keberanian mereka. Penilaian juga dilihat dari sikap, perilaku, dan keaktivan di kelas. Jadi guru harus mengamati murid-muridnya.
"Tapi jadi sulit kalau muridnya banyak. Di kelas saya mengajar sekitar 40-an. Idealnya, jika melihat video yang diputar waktu pelatihan itu muridnya enggak sampai 20 orang." jelasnya lewat sambungan telepon, Selasa (16/7) siang.
Pro dan kontra memang selalu ada. Kurikulum 2013 pun sudah mulai diterapkan, terlepas ada yang melihatnya sebagai sebuah uji coba. Akankah produk baru ini berhasil? Atau berakhir usang sebagai satu lagi kegagalan pemerintah menyusun sistem pendidikan yang tepat?
"Ibarat pertandingan sepak bola, mereka yang menolak kurikulum baru itu penonton, sedangkan pemain dan wasit dapat menerimanya," kata Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud), Mohammad Nuh dalam sebuah pertemuan dengan guru PGRI se-Jatim, Sabtu (18/5) seperti dilansir dari Antara.
Cukup bisa dibenarkan jika melihat komentar Darmaningtyas, pengamat pendidikan yang merupakan salah satu anggota tim perumus kurikulum 2013, yang juga dilansir dari Antara.
"Kurikulum 2013 itu sendiri bukan sesuatu yang baru, karena merupakan kombinasi dari cara belajar siswa aktif (CBSA) dengan kurikulum tingkat satuan pendidikan (KTSP)," ujarnya.
"CBSA itu mengajarkan murid bersikap kritis, tapi orang tua belum siap. Ketika murid bersikap kritis, seringkali justru memicu benturan dengan orang tua yang masih bersikap konservatif," tutur Darmaningtyas.
Hal yang sama, menurut dia, juga melingkupi penerapan Kurikulum 2013 yang sebenarnya lebih disebabkan oleh ketidaksiapan guru, karena mayoritas guru baru memahami KTSP, tapi tiba-tiba ada rencana perubahan menjadi Kurikulum 2013.
"Karena itu, perlu waktu agar semuanya siap, saya kira hal itu lebih baik daripada nanti ada masalah baru," tutur pria yang akrab dipanggil Tyas itu.
Catatan yang hampir sama datang dari Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) Jawa Timur.
"Para pengajar belum tersentuh dengan kurikulum baru (2013). Guru yang mata pelajarannya hilang atau disatukan butuh waktu untuk penyesuaian dengan penerapan kurikulum tersebut," ujar Ketua PGRI Jatim, Ichwan Sumadi di Surabaya (2/5).
Catatan selanjutnya adalah sistem evaluasi melalui ujian nasional (UN) yang dinilai terlalu kognitif, padahal kurikulum 2013 sendiri menampung tiga aspek: kognitif, perilaku, dan keterampilan.
"Saya setuju UN, tidak dimaksudkan untuk penentu kelulusan, tapi hanya sebagai alat pemetaan kualitas dan hanya menjadi milik pemerintah. Kalau kurikulum baru diterapkan, tapi evaluasinya menggunakan UN berarti ada inkonsistensi," kata Darmaningtyas.
Para pejabat Kemendikbud pun dengan penuh rasa percaya diri menyatakan bahwa kurikulum 2013 hanya meliputi lima persen di SD dan tujuh persen di SMP sebagai penerapan bukan ujicoba.
"Bagaimana mungkin tidak dibilang ujicoba, sementara telah terjadi pengurangan yang begitu drastis, dari semula 132 ribu sekolah menjadi hanya 6.400-an dari semula 20 juta siswa menjadi hanya 1.600 siswa. Masa sih para profesor di Kemendikbud masih menganggap ini bukan sampel? Kenapa harus malu dengan ujicoba sehingga ngotot dengan penerapan?" kritik Retno Listyarti, Sekretaris Jenderal FSGI (Federasi Serikat Guru Indonesia).
Kurikulum 2013 juga menuai banyak protes dari orangtua murid karena menghapuskan mata pelajaran Bahasa Inggris dari sekolah dasar.
Lita Anggraeni, pegawai negeri sipil di Jakarta menyayangkan penghapusan Bahasa Inggris. Ia menganggap anak-anak sudah bisa dan jadi satu kemunduran jika dihapuskan. Apalagi ia menambahkan bahwa pengetahuan umum sumbernya berbahasa asing, terutama Bahasa Inggris.
Sementara Manigor, bapak dua anak warga Kecamatan Air Molek, Riau, dengan tegas menolak karena jika tidak dibiasakan dari kecil bagamana anak-anak bisa bo international.
Namun di sisi lain pakar sosio-linguistik dari Universitas Gajah Mada, Kunjana Rahardi, menyetujui rencana pemerintah itu. Menurutnya pengenalan bahasa asing yang terlalu dini berdampak buruk pada penguasaan bahasa anak. Baginya anak-anak perlu menguasai bahasa ibu dengan matang terlebih dulu sebelum belajar bahasa kedua dan ketiga. Dengan begitu Bahasa Indonesia-nya akan lebih tertata rapih dan tak melupakan bahasa daerahnya.
Sebagai salah satu elemen utama dalam dunia pendidikan, guru pun punya pendapat sendiri dari sudut pandangnya. Ida, guru kelas I SD di Jepara yang sudah mendapat pelatihan selama lima hari di Solo dan mulai menerapkan kurikulum 2013 sejak kemarin memberikan komentarnya,
"Kurikulum yang baru ini bagus untuk membentuk kreativitas anak dan melatih keberanian mereka. Penilaian juga dilihat dari sikap, perilaku, dan keaktivan di kelas. Jadi guru harus mengamati murid-muridnya.
"Tapi jadi sulit kalau muridnya banyak. Di kelas saya mengajar sekitar 40-an. Idealnya, jika melihat video yang diputar waktu pelatihan itu muridnya enggak sampai 20 orang." jelasnya lewat sambungan telepon, Selasa (16/7) siang.
Pro dan kontra memang selalu ada. Kurikulum 2013 pun sudah mulai diterapkan, terlepas ada yang melihatnya sebagai sebuah uji coba. Akankah produk baru ini berhasil? Atau berakhir usang sebagai satu lagi kegagalan pemerintah menyusun sistem pendidikan yang tepat?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar